Jodohku Di Tangan Pembinaku
"Sah ya?"
"Saaah!!!"
Hepi tersenyum sumringah. Ia mengulurkan tangan kepada orang yang ada di depannya yang baru saja membeli kambing kurbannya. Si pembeli menyambut tangan Hepi. Mereka berjabat tangan, erat.
"Ngomong-ngomong, ente sendiri kurban gak Hep?" Si pembeli bertanya.
"Pengennya sih gitu... Ada sih uang, tapi buat keperluan laen yang gak kalah mendesak."
"Wuiih.. keperluan apaan tuh? Emang keperluannya bisa ngalahin keutamaan berkurban."
"Insya Allah begitu.. Kurban kan sunnah muakaddah. Kalo yang ini... Bisa dikatakan wajib lah.."
"Oke deh. Semoga urusannya dipermudah Allah."
"Amiin.. Amiin ya Robbal'alamiin..." Hepi mengaminkan dengan penuh penghayatan.
Si pembeli berlalu. Ia adalah pembeli kambing kurban ke-empat yang Hepi dapatkan semenjak seminggu yang lalu ia mengedarkan brosur hewan kurban kepada orang-orang yang dikenalnya. Hepi benar-benar senang luar biasa. Terbayang uang tabungannya yang ia persiapkan untuk menikah sudah bertambah. Dan muncul pula rasa optimis bahwa ia sudah memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya kelak bila ia menikah. Hepi senang, yakin, dan bertambah semangat.
Sejak enam bulan yang lalu Hepi mulai merintis berbagai usaha dan mulai mengumpulkan uang. Tujuannya hanya satu: menikah. Hepi yang sedang kuliah semester 6 merasa sudah saatnya ia menikah. Selain karena ia sudah memasuki usia aqil baligh, ia juga merasa sudah menemukan jodoh yang tepat untuk dinikahi.
Adalah Nita, seorang aktifis Rohis Kampus yang menjabat ketua keputrian yang menyebabkan Hepi bertekad bulat untuk menikah. Perasaan suka di hati Hepi sudah mulai tumbuh sejak satu setengah tahun yang lalu. Sosok Nita memang mudah membuat laki-laki jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu yang terjadi pada Hepi ketika melihat Nita yang saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Departemen Keputrian melakukan presentasi program kerja di sebuah acara Rapat Kerja kepengurusan baru.
Setelah jatuh cinta pada pandangan pertama itu, mulanya Hepi tidak terlalu menuruti perasaan yang aneh pada dirinya. Tapi beberapa kali pertemuan dan beberapa interaksi membuat kekagumannya bertambah. Posisi Hepi di Organisasi Rohani Islam Kampus sebagai anggota Departemen Syiar memang sering berurusan dengan Nita bila ada agenda Keputrian yang akan melaksanakan acara dalam skala besar. Syuro-syuro kecil yang cuma dihadiri oleh beberapa orang, hingga syuro agak besar yang melibatkan beberapa department, memberikan bayangan kepada Hepi seperti apa sosok Nita itu. Dan makin hari makin bulat tekad Hepi untuk hidup berdampingan bersama Nita.
Hingga enam bulan yang lalu, setelah Hepi mengikuti “Dauroh Pra Nikah”, sebuah training persiapan pernikahan untuk mereka yang akan melaksanakannya, Hepi memutuskan untuk memulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menikah. Tabungan, pekerjaan, penghasilan, ilmu, semuanya ia kejar. Ia kumpulkan buku-buku pernikahan, walau pun membeli dari sebuah toko buku loak yang ada di belakang kampusnya.
Di kajian pekanan yang dibina oleh Imran, seorang alumni yang pernah menjabat sebagai Ketua Rohis periode tiga tahun yang lalu, Hepi memberanikan diri mengangkat tema-tema pernikahan. Hepi tahu, kakak pembinanya itu belum menikah. Tapi Imran tetap meladeni diskusinya. Bahkan Hepi menantang Imran untuk berlomba adu cepat siapa yang lebih dulu menikah. Saat tantangan itu dilontarkan, dengan sedikit tertawa, Imran yang sudah bekerja mapan di sebuah Bank Syariah menyanggupi tantangan Hepi.
Tapi Hepi tidak pernah menceritakan kepada Imran tentang ketertarikannya dengan Nita. Ia hanya berharap suatu saat Imran memudahkan permintaannya untuk ber-ta’aruf dengan Nita bila saatnya tiba, dan tidak memberatkannya dengan pertimbangan yang aneh-aneh. Hepi agak khawatir saat beberapa teman tempat curhatnya menyinggung masalah “sekufu’”, dalam artian Hepi tidak sekufu’ atau tidak cocok dengan Nita. Bukan masalah keturunan, bukan masalah harta kekayaan, atau pun kecerdasan, tetapi masalah tampang. Untuk masalah ini, Hepi tak bisa berbuat apa-apa karena dari sananya cetakannya sudah seperti itu. Ia berharap bisa berproses tanpa terganggu selisih tampang yang timpang.
*****
Hepi berjalan menelusuri jalan setapak yang mengantarkannya pada sebuah peternakan di pinggir kota, di sore yang terik saat matahari bebas melempar cahayanya ke bumi tanpa penghalang. Peternakan Haji Yamin, di sana Hepi punya investasi berupa empat ekor kambing dan sepetak kolam yang berisi puluhan ikan Lele. Investasi itu rutin mengalirkan uang kepadanya tiap bulan dengan sistem bagi hasil dengan pemilik peternakan.
Di depan pintu gerbang peternakan, ada sebuah pos tempat petugas keamanan berjaga. Di sana sedang duduk seorang seumuran Hepi sembari membaca sebuah buku. Hepi melontarkan salam kepada orang itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam. Eh Hepi… sudah laku berapa?” Orang itu menjawab salam dan menyambut Hepi dengan pertanyaan.
“Alhamdulillah udah dapat enam pembeli. Sendirian aja, Wal?” Hepi memasuki ruangan pos jaga, menyeret sebuah bangku, dan duduk di samping Awal, orang yang disapanya.
“Iya… Lagi baca buku tentang nikah. Gak mau kalah sama ente. Hehehe…”
“Haha… Awaal.. Awal… Mau nikah sama siapa? Udah ada calon? Jangan-jangan kita ngincer orang yang sama lagi…” Hepi cengengesan.
“Santai aja Hep. Ane cukup tau diri untuk ngejer-ngejer Nita. Emangnya ente? Modal nekat doang.” Awal mengambil sebuah gelas kosong di atas meja di depannya, lalu menuangkan air ke gelas itu dari sebuah teko. “Minum Hep!” Tawar Awal.
Hepi yang haus langsung menghabiskan air dari gelas itu.
“Enak aja nekat. Investasi ane ini adalah modal buat berumah tangga. Bukan modal nekat.” Ujar Hepi setelah dahaganya sembuh.
“Haha… Kalo cuma modal ternak, ane udah dari dulu nikah dong. Ente aja yang cuma investasi di peternakan Abah ane berani nikah, masa’ ane enggak.”
“Nah, tuh nyadar. Emang kenapa belum mau nikah? Modal harta udah ada.”
“Entar deh. Belum punya ilmu.”
“Alasan ih… Makanya banyak baca dong. Kalo masalah ilmu mah… kita akan selalu merasa kekurangan.”
“Ente udah banyak baca buku nikah kan Hep? Udah siap dari sisi ilmu?”
Hepi mengangguk. “Ya Insya Allah begitu.”
“Coba sebutin rukun nikah!” Tertawa kecil, Awal menguji Hepi.
Hepi gelagapan. “Mempelai pria, wanita, wali, penghulu dari KUA, saksi…”
Awal tertawa terbahak-bahak. “Ngawur ya.. Sejak kapan petugas pencatat nikah masuk jadi rukun nikah? Ah payah niiih… katanya udah siap dari sisi ilmu?”
“Ya setidaknya di Negara kita kalo mau nikah kan harus ada petugas pencatat nikah dari KUA. Hepi tersipu.”
“Maaf Hep.. Ane gak yakin ente diperbolehin nikah sama Bang Imran. Ente belum siap deh Hep.”
Awal dan Hepi berada pada satu kelompok kajian pekanan yang sama di bawah binaan Imran. Awal juga anggota Rohani Islam. Ia menjabat sebagai Bendahara.
“Jangan gitu Wal. Jangan nakut-nakutin. Untuk masalah jodoh, ana gak mau diatur-atur. Walau pun sama orang tua. Apalagi cuma sama Bang Imran.”
“Kalau Bang Imran gak mau memperantarai ente untuk ta’aruf dengan Nita, gimana?”
“Ane nekat aja, langsung ngajak Nita ta’aruf. Gak pake perantara-perantaraan.”
Awal mengangguk. Hening sesaat di antara mereka.
“Hep, mau mendengarkan nasehat ane?”
“Mau insya Allah. Kalo gak mau, berarti hati ane udah mati.”
“Kalau antum meniatkan pernikahan itu sebagai ibadah, maka antum gak akan masalah walau pun menikah bukan dengan Nita. Karena fokus ibadahnya bukan pada menikahi Nita, tapi pada menikahnya itu sendiri. Keikhlasan antum menikah karena Allah itu diuji saat antum gagal menikah dengan Nita. Kalau antum ikhlas, maka antum gak akan kecewa karena masih banyak kesempatan. Tapi kalau antum kecewa berat, maka niat antum adalah cuma mau menyenangkan diri dengan menikah dengan Nita, bukan sebagai penghambaan kepada Allah. Begitu Hep.”
Mereka berdua diam. Hepi termenung seperti mencerna kata-kata Awal.
“Memang berat bicara niat kalau sudah terlanjur punya pilihan.” UjarHepi.
“Ana gak mempermasalahkan ente punya pilihan. Tapi jangan sampai pilihan itu menutupi niat karena Allah. Ah… susah kalau bicara niat. Terlalu filosofis jadinya.”
“Iya Wal.. iya…”
“Mudah-mudahan ente gak kecewa, Hep.” Awal tertawa.
“Lho, kenapa Wal? Ente yakin Bang Imran akan menolak permintaan ana? Jangan-jangan ente cuma menggertak, karena ente juga ngincer Nita kan?”
“Bukan. Ya… ada lah… liat aja nanti.” Awal menyembunyikan sesuatu.
Saat matahari makin terperosok ke ufuk barat dan mendekati waktu maghrib, kedua sahabat itu beranjak ke kampusnya. Ada jadwal kajian pekanan malam itu di Masjid Kampus. Dan Hepi sudah bertekad bulat menyampaikan keinginannya ta’aruf dengan Nita kepada Bang Imran.
*****
Kajian pekanan malam itu sudah mulai berakhir saat Imran memimpin doa penutup majelis. Sembari mencicipi makanan yang terhidang di tengah lingkaran, delapan orang peserta kajian bercakap-cakap. Hepi semakin berdebar jantungnya menanti saat yang tepat untuk meminta kepada Bang Imran untuk berbicara empat mata.
“Ikhwan fillah, ada yang mau ana sampaikan.” Ujar Imran menyela percakapan mereka.
“Apa Bang?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Yah, ana punya ini…” Imran mengeluarkan beberapa buah undangan yang terbungkus rapi dengan plastik. Dibagikan undangan itu kemasing-masing anak. Mereka membuka undangan itu tak sabar. Termasuk Hepi. Sebuah undangan pernikahan.
“Afwan Hep. Untuk masalah nikah, ana menang dari antum ya… Ana menikah duluan. Diizinin ya Hep?” Imran tertawa menggoda.
“Insya Allah, bang. Barakallah.” Jawab Hepi. Berbisik dalam hati, Hepi berkata, “Kalahnya gak telak kok Bang. Ana juga bentar lagi bakal nikah dengan…. Nita.”
Belum sempat Hepi membuka undangan dan melihat dengan siapa Imran menikah, suara gemuruh di masjid yang sepi itu bergema dari anak-anak pengajian.
“Dengan siapa?” Hepi membatin dan makin penasaran. Dan saat ia membaca naskah undangan itu, terasa sesak di hatinya saat melihat nama Renita Kusuma terpampang di undangan itu. “Nita...” Ujarnya membisik.
Sebuah tepukan mendarat di pundak Hepi. “Ana udah tau duluan Hep. Mudah-mudahan kata-kata ana tadi sore bisa menguatkan antum.” Suara milik Awal.
Hati Hepi tak karuan. Gemuruh… dan mendung…
0 komentar:
Posting Komentar